Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu 
Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang 
mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang 
menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, 
baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu 
keahlian tersendiri. Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II 
memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam
 dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang 
perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran 
adalah sama.
Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya 
industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang 
industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat (=apotek). Dalam hal
 ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri 
farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan 
teknologi pembuatan obat.
Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan 
teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan 
dan sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun
 lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang keberhasilan 
para anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya.
Dilihat dari sisi pendidikan Farmasi, di Indonesia mayoritas farmasi 
belum merupakan bidang tersendiri melainkan termasuk dalam bidang MIPA 
(Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) yang merupakan kelompok ilmu 
murni (basic science) sehingga lulusan S1-nya pun bukan disebut Sarjana 
Farmasi melainkan Sarjana Sains.
Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia (1997) dalam “informasi 
jabatan untuk standar kompetensi kerja” menyebutkan jabatan Ahli Teknik 
Kimia Farmasi, (yang tergolong sektor kesehatan) bagi jabatan yang 
berhubungan erat dengan obat-obatan, dengan persyaratan : pendidikan 
Sarjana Teknik Farmasi.
Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan 
bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis, 
pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan.
Silverman dan Lee (1974) dalam bukunya, “Pills, Profits and Politics”, menyatakan bahwa :
1. Pharmacist lah yang memegang peranan penting dalam membantu dokter
 menuliskan resep rasional. Membanu melihat bahwa obat yang tepat, pada 
waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu mengenai 
“bagaimana,kapan,mengapa” penggunaan obat baik dengan atau tanpa resep 
dokter.
2. Pharmacist lah yang sangat handal dan terlatih serta pakart dalam hal
 produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk 
mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat melayani 
baik dokter maupun pasien, sebagai “penasehat” yang berpengalaman.
3. Pharmacist lah yang meupakan posisi kunci dalam mencegah penggunaan 
obat yang salah, penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang 
irrasional.
Sedangkan Herfindal dalam bukunya “Clinical Pharmacy and 
Therapeutics” (1992) menyatakan bahwa Pharmacist harus memberikan 
“Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai sumber informasi obat.
Melihat hal-hal di atas, maka nampak adanya suatu kesimpangsiuran 
tentang posisi farmasi. Dimana sebenarnya letak farmasi ? di jajaran 
teknologi, Ilmu murni, Ilmu kedokteran atau berdiri sendiri ? 
kebingungan dalam hal posisi farmasi akan membingungkan para 
penyelenggara pendidikan farmasi, kurikulum semacam apa yang harus 
disajikan ; para mahasiswa bingung menyerap materi yang semakin hari 
semakin “segunung” ; dan yang terbingung adalah lulusannya (yang masih 
“baru”), yang merasa tidak “menguasai “ apapun.
Di Inggris, sejak tahun 1962, dimulai suatu era baru dalam pendidikan
 farmasi, karena pendidikan farmasi yang semula menjadi bagian dari 
MIPA, berubah menjadi suatu bidang yang berdiri sendiri secara 
utuh.rofesi farmasi berkembang ke arah “patient oriented”, memuculkan 
berkembangnya Ward Pharmacy (farmasi bangsal) atau Clinical Pharmacy 
(Farmasi klinik).
Di USA telah disadari sejak tahun 1963 bahwa masyarakat dan 
profesional lain memerlukan informasi obat tang seharusnya datang dari 
para apoteker. Temuan tahun 1975 mengungkapkan pernyataan para dokter 
bahwa apoteker merupakan informasi obat yang “parah”, tidak mampu 
memenuhi kebutuhan para dokter akan informasi obat Apoteker yang 
berkualits dinilai amat jarang/langka, bahkan dikatakan bahwa 
dibandingkan dengan apotekeer, medical representatif dari industri 
farmasi justru lebih merupakan sumber informasi obat bagi para dokter.
Perkembangan terakhir adalah timbulnya konsep “Pharmaceutical Care” 
yang membawa para praktisi maupun para “profesor” ke arah “wilayah” 
pasien.
Secara global terlihat perubahan arus positif farmasi menuju ke arah 
akarnya semula yaitu sebagai mitra dokter dalam pelayanan pada pasien. 
Apoteker diharapkan setidak-tidaknya mampu menjadi sumber informasi obat
 baik bagi masyarakat maupun profesi kesehatan lain baik di rumah sakit,
 di apotek atau dimanapun apoteker berada.
kredit :  http://blogs.itb.ac.id/pharmacy/2011/11/26/sejarah-farmasi-dunia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar